Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang signifikan terhadap kemajuan peradaban. Namun, apabila kemajuan tersebut tidak disikapi dengan bijaksana akan menimbulkan dampak negatif. Maraknya penggunaan E-commerce dan sosial menjadi latar belakang tumbuhnya perilaku konsumtif.
Di zaman ini berbagai macam kemudahan dalam berbelanja bisa didapatkan. E-commerce seperti Shopee dan Tokopedia kini berlomba-lomba dalam penayangan iklan dan promosi massal demi meningkatkan penjualan. Masyarakat kini juga ditawarkan dengan berbagai macam manfaat seperti kampanye gratis ongkir pada tanggal kembar setiap bulan oleh market place seperti Shopee. Mudahnya aktivitas berbelanja membuat orang dapat begitu mudahnya membeli barang tanpa pikir panjang. Istilah ini sering disebut dengan impulsive buying.
Perilaku konsumtif juga tidak lepas dari jejaring digital seperti tiktok. Di sosial media dapat ditemukan para influencer memberikan tinjauan baik kritikan maupun rekomendasi barang atau jasa. Tren di sosial media yang selalu berubah membuat banyak orang harus selalu mengikuti tren terbaru. Relasi pertemanan yang ada baik di sosial media maupun di kehidupan nyata juga seringkali berpengaruh pada diri kita. Saat berada di lingkungan yang memiliki gaya hidup mewah, seseorang harus bisa menyesuaikan gaya mereka juga.
Indikator seseorang berperilaku konsumtif dapat dilihat dari sifatnya dalam berbelanja. Masyarakat yang berperilaku konsumtif biasanya merupakan masyarakat yang impulsive buying. Sebagai contoh, pada saat pandemi covid-19 masyarakat berbondong-bondong membeli kebutuhan pokok seperti beras karena khawatir akan diberlakukannya lockdown. Indikator lainnya adalah ruang penyimpanan barang penuh karena sudah terlalu banyak barang yang dimilikinya. Selain itu biasanya masyarakat yang konsumtif adalah masyarakat yang memiliki gengsi tinggi.
Istilah Fear of Missing Out (FoMO) perasaan cemas atau takut ketinggalan aktivitas atau pengalaman yang sedang populer di sekitar (Syabani:2019). Masyarakat konsumtif juga memiliki ciri-ciri hidup yang disebut dengan istilah FoMO. Selain itu ketergantungan pada kartu kredit atau hutang yang menumpuk.
Kasus nyata yang terjadi dalam masyarakat adalah perilaku konsumtif yang berujung pada hutang pinjol (pinjamann online). Kisah ini pernah diadaptasi di film “Pay Later” dimana seorang gadis remaja di Jakarta terpengaruh pada fast-fashion. Tren dinamis di sosial media membuatnya selalu berbelanja setiap bulan. Namun kondisi keuangan keluarga nya yang tidak memumpuni membuatnya mengutang dan memilih opsi pinjol.
Sebagai individu dan dan masyarakat kita harus bisa menentukan skala prioritas. Kita harus bisa mendahulukan mana yang penting dan mendesak. Budaya instan yang ada di sekeliling kita harus disikapi dengan bijak karena tidak selamanya yang cepat itu baik. Coba juga untuk melakukan budgeting berbelanja untuk setiap bulan. Upaya represif yang bisa dilakukan adalah dengan mengalihkan perhatian kita pada hal-hal yang positif. Saat kita merasa bosan maka arahkanlah tubuh kita pada hal-hal yang positif, seperti berolahraga dan memasak. Pengawasan dari orang di sekitar kita juga sangat berguna dalam mengontrol belanja kita.
Di sisi lain pemerintah dapat membatasi produk luar negeri yang bisa mematikan produk lokal. Terutama harga yang merusak pasaran lokal. Karena hal tersebut dapat menggoda masyarakat untuk membeli hal-hal yang sebenenarnya tidak terlalu mereka perlukan.
Levina Wuliutomo XII IPS 2 /26 – Perilaku Konsumtif
0 Comments