Dr. Karlina Supelli pernah mengatakan bahwa sastra fiksi membawa pembaca masuk ke dalam possible world—dunia imajinasi yang berbeda dari realita. Aku mengamininya. Setiap kali menutup sebuah buku fiksi, rasanya seperti jatuh dari langit—dilempar dari dunia yang serba sempurna ke dunia nyata yang carut-marut, penuh kontradiksi, konflik, dan absurditas.

Namun, saat aku menjalani uprak mapel wajib kelas XII, batas antara fantasi dan realitas seakan mengabur. Dunia yang dulu hanya hidup di halaman-halaman buku kini menjelma di hadapanku. Bandung Bondowoso hadir kembali, tidak sendirian—ia datang bersama pasukan jin yang bekerja tanpa lelah, siang dan malam. Hanya saja, kali ini, Roro Jonggrang bukan seorang putri jelita dalam legenda, melainkan beberapa guru dengan segudang tugas dan tenggat waktu yang nyaris mustahil dipenuhi.

Lalu ada Dilan dan Milea. Sulit membayangkan Dilan bersekolah di SMAK St. Louis 1. Berapa jumlah poin pelanggarannya? Di mana warung Bi Eem tempatnya nongkrong? Namun, dalam dunia yang kubangun sendiri, semuanya menemukan bentuknya. Dilan ternyata seorang she, sedangkan Milea justru seorang he. Peran-peran terbolak-balik, melawan ekspektasi, seakan menegaskan bahwa dunia fiksi dan realita tidak selalu sejauh yang kita kira.

Aku juga bertemu dengan Sleeping Beauty—Aurora. Namun, Aurora yang kutemui bukan seorang putri yang tertidur menanti ciuman pangeran. Aurora di dunia nyata ternyata seorang he—seorang pangeran. Ia kini sedang tertidur di Istananya, entah kutukan apa yang membuatnya tertidur dan menghilang dari uprak kami.

Imajinasi lepas, menganyam jalinan antara dua dunia—satu yang diciptakan oleh para penulis, dan satu yang kutapaki setiap hari. Dan kini, aku tidak tahu lagi: apakah aku yang memasuki dunia fiksi, atau justru fiksi yang diam-diam merayapi dunia nyataku?

Categories: UPRAK

Nicholas Ian Tjahyono

自强不息

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *