Garam dan Madu: Budaya Kontroversial
Oleh: Benedict Alden Pramudya / XII IPS 2 / 2 dan Abbygayle Aubrey Lao / XII IPS 2 / 1

“Sakit dadaku, ku mulai merindu, kubayangkan jika kamu tidur disampingku” merupakan penggalan lirik dari lagu populer yang dirilis pada 20 Desember 2024 lalu. Lagu yang merupakan kolaborasi antara tiga penyanyi yang cenderung belum terkenal, Tenxi, Naykilla, dan Jemsii, ini kemudian mendapat sorotan publik netizen Indonesia lewat kanal sosial media seperti Instagram, X, dan Tiktok karena digunakan berulang kali sebagai backsound video pendek pada platform sosial media tersebut.
Lagu “Garam dan Madu” menuai kontroversi di media sosial, dimana netizen Indonesia terbagi pada dua kubu. Di satu sisi, masyarakat menyukai lagu ini, dengan beberapa masyarakat mengklaim lagu ini sebagai pembentukan genre musik baru yaitu “hipdut”, yaitu gabungan dari genre “hip-hop” dan “dangdut”. Dalam teori sosiologi, pembentukan budaya baru dapat terjadi ketika terdapat dua atau lebih kebudayaan yang diserap oleh seseorang. Ketika orang tersebut memilih untuk meninggalkan budaya aslinya untuk mendalami budaya barunya, ini disebut asimilasi; Ketika seseorang menyerap budaya asing dan menggabungkannya dengan budaya asalnya, ini dikenal dengan akulturasi. Dalam kasus lagu “Garam dan Madu” klaim bahwa ini adalah gabungan dari “hip-hop” dan “dangdut” menjadikan kultur atau genre lagu baru yaitu “hipdut” dapat dikatakan sebagai contoh dari kreolisasi, penggabungan dua budaya, dalam konteks ini lagu atau genre musik, untuk menghasilkan satu budaya yang baru.
Walaupun lagu ini dapat kita anggap sebagai “kreasi anak bangsa” realitanya lagu ini dianggap “meresahkan” oleh masyarakat Indonesia. Aspek pertama yang menjadi kekurangan dari lagu ini adalah lirik dari lagu yang menggambarkan pergaulan bebas, relasi yang tidak sehat, dan normalisasi budaya hubungan tanpa status. Lagu ini t menyebutkan situasi atau imajinasi penulis lagu yang berada di posisi seksual dan tidak pantas seperti “Kubayangkan jika kamu tidur disampingku”, walaupun tanpa penulisan secara eksplisit tentang posisi seksual, namun implikasi dari lagu ini tetap menggambarkan posisi seksual tersebut. Relasi yang tidak sehat serta normalisasi budaya hubungan tanpa status terlihat dari penggalan lirik “wanna be with you, tapi jalani dulu”, ini menggambarkan imajinasi penulis untuk menjalani hubungan tanpa tujuan yang jelas. Walaupun bagi beberapa orang, hal-hal ini adalah sesuatu yang “normal” mayoritas masyarakat Indonesia tidak setuju dengan hal ini, terlihat dari sentimen negatif yang didapatkan lagu ini pada berbagai postingan di media sosial.
Aspek kedua yang merupakan kekurangan lagu ini adalah liriknya yang repetitif dan terus menerus mengulang kata kata yang sama. Menurut ahli musik Simon Reynolds, repetisi lirik pada musik modern mengacu pada stagnasi di musik modern serta mengindikasikan makna yang dangkal dalam lagu-lagu. Musik pada awalnya diciptakan sebagai puisi yang “dinyanyikan” dengan makna yang mendalam serta penuh arti. Ketika sebuah lagu memiliki lirik yang kurang dalam, kita dapat melihat degradasi musik dari sebuah karya seni menjadi sebuah karya seni, namun bagi orang orang tertentu saja.
Lagu ini menandakan modernisasi dan percampuran budaya di Indonesia. Untuk mungkin yang pertama kalinya, masyarakat Indonesia terekspos dengan lirik lagu yang eksplisit yang dipadukan dengan gaya musik baru, perpaduan kebudayaan Indonesia. Gaya musik modern bernuansa Indonesia ini membuat lagu “Garam dan Madu” sebagai hal yang dapat dibanggakan, namun sangat disayangkan bahwa lirik lagunya eksplisit dan kurang cocok didengarkan secara luas.
0 Comments