Jansen Cahyadi XII IPS 2/19

Jennifer Alexandria XII IPS 2/20

Dalam film Inside Out pertama, kita diperkenalkan dengan Riley Andersen yang tumbuh dengan berbagai emosi yang diwujudkan dalam bentuk karakter seperti Joy, Sadness, Fear, Anger, dan Disgust. Kini, Inside Out 2 melanjutkan kisah Riley yang telah beranjak remaja dan mulai menghadapi masa pubertas. Perubahan besar ini ditandai dengan datangnya para pekerja yang membongkar ruang pengendali emosi Riley untuk menambahkan berbagai tombol emosi baru. Emosi-emosi baru yang muncul terdiri dari Anxiety , Envy, Ennui, dan Embarrassment. Kehadiran emosi baru ini mengejutkan kelompok emosi Riley yang sudah ada. Para emosi baru ini mencoba mengendalikan keputusan dan perasaan Riley, bahkan mengusir Joy, Sadness, Anger, Fear, dan Disgust dari ruang pengendali emosi. Akibatnya, Riley menjadi lebih sensitif dan cemas dalam merespons hal-hal baru dalam hidupnya.

Setelah berdamai dengan kepindahannya ke tempat tinggal baru, Riley kini harus menghadapi tantangan baru di sekolah menengah yang membuatnya berpisah dengan kedua sahabatnya. Perpisahan ini menimbulkan rasa kecewa dan kekhawatiran dalam diri Riley tentang bagaimana membangun pertemanan tanpa kedua sahabatnya.Di lingkungan baru ini, Riley mencoba menyesuaikan diri agar bisa bergabung dengan tim hoki yang terdiri dari anak-anak populer di sekolahnya. Hal ini membuat Riley gelisah, terombang-ambing antara bergabung dengan anak-anak populer atau tetap menghabiskan waktu dengan sahabat-sahabatnya yang akan pindah. Anxiety mencoba mengambil alih keputusan Riley tanpa mempertimbangkan jati dirinya yang sesungguhnya. Kendali dari Anxiety ini menghasilkan ingatan dan emosi negatif dalam diri Riley. Melihat hal ini, Joy, Sadness, Fear, Anger, dan Disgust berusaha keras untuk mengembalikan jati diri Riley yang telah diabaikan oleh Anxiety agar Riley tidak kehilangan karakter positif yang telah dimilikinya.

Pixar selalu mempunyai cara yang brilian dalam menyederhanakan konsep yang kompleks. Dalam Inside Out yang dirilis sembilan tahun lalu, Pixar menggambarkan emosi manusia sebagai pegawai kantoran yang bekerja dalam pikiran Riley. Ia memiliki lima emosi utama: Joy, Disgust, Fear, Anger, dan Sadness. Jika film pertamanya berfokus pada bagaimana karakter utamanya belajar menerima semua emosi, film keduanya mengangkat tema baru, yaitu bagaimana cara mengelola emosi. Di sekuelnya ini, Riley telah beranjak remaja. Ia memiliki sahabat baru dan kebahagiaannya terpusat pada bermain hockey. Sebagai pemain yang cukup berbakat, Riley mendapatkan undangan untuk mengikuti kemping hockey bersama sahabatnya serta tim yang ia impikan. Segalanya berjalan lancar hingga tiba hari keberangkatan, ketika ia mengalami titik pubertas.

Joy, yang selama ini menjadi pemimpin, terkejut saat mendapati bahwa markasnya telah mengalami perubahan. Emosi-emosi baru muncul dan mengguncang keseimbangan yang ada. Hadirnya Envy, Ennui, Embarrassment, dan yang paling dominan, Anxiety, membuat Joy merasa perlu mengembalikan keadaan sebelum Riley berubah menjadi sosok yang tidak ia kenali. Cerita ini cukup relevan dengan kehidupan remaja masa kini. Rasa cemas atau Anxiety semakin sering dibahas di kalangan anak muda. Inside Out 2 menggambarkan bagaimana Anxiety mampu mengganggu kebahagiaan (Joy) serta hubungan sosial. Film ini mengajarkan bahwa meskipun Anxiety tidak bisa dihindari, ia dapat diatasi dan dikendalikan. Awalnya, Joy beranggapan bahwa Riley hanya perlu mengingat momen-momen bahagia dan terus berpikir positif, tetapi ternyata cara tersebut tidak selalu efektif. Inside Out 2 menunjukkan bahwa pencarian jati diri tidak selalu berasal dari kenangan manis, justru sebaliknya.

Dibandingkan film Pixar lainnya, Inside Out tampaknya menjadi yang paling mudah dieksplorasi karena manusia selalu berkembang. Namun, di saat yang sama, Inside Out juga menjadi tantangan besar untuk dibuatkan sekuel mengingat kompleksitas emosi manusia. Film pertama berhasil menampilkan lima emosi utama dengan keseimbangan yang baik. Namun, dalam Inside Out 2, hadirnya empat emosi baru terasa kurang maksimal. Selain Anxiety, emosi lain tidak mendapatkan eksplorasi yang mendalam. Ironisnya, emosi yang lebih universal bagi remaja, seperti Love atau Lust, justru absen. Penulis skrip, Meg LeFauve dan Dave Holstein, berusaha memberikan porsi untuk semua karakter, tetapi hasil akhirnya kurang seimbang. Film ini ingin membahas banyak hal, namun dampaknya tidak sekuat film pertamanya. Meskipun tetap menyajikan momen indah dengan klimaks yang memuaskan, secara emosional, film ini tidak bisa disandingkan dengan pendahulunya.

Banyaknya ide dalam cerita ini memang tidak dapat dihindari, karena menjadi remaja adalah seperti mengalami tornado emosi. Namun, yang paling mengecewakan dari Inside Out 2 adalah plotnya yang masih mengikuti pola film pertama. Jika mengesampingkan empat emosi baru, Inside Out 2 sebenarnya hanyalah pengulangan dari film pertama. Joy kembali menjadi pusat cerita yang akhirnya menyebabkan kekacauan. Joy sekali lagi terbuang dari markas dan harus mencari jalan kembali, hingga ia belajar dari kesalahannya dan membantu Riley menjadi pribadi yang lebih baik. Menggunakan formula yang sudah terbukti sukses bukanlah kesalahan, tetapi dalam kasus ini, pengulangan justru mengurangi kejutan yang membuat film pertama begitu berkesan.

Sebagai animasi, Inside Out 2 tetap menjadi persembahan terbaik. Pixar tidak pernah gagal dalam menghadirkan visual dan audio yang memanjakan. Tampilan grafisnya begitu cerah dan pengisi suara memberikan performa yang luar biasa. Visual yang disajikan memenuhi ekspektasi, menghadirkan sentuhan baru tanpa kehilangan kehangatan film pertamanya. Musik dari Andrea Datzman juga memperkuat suasana emosional film. Meskipun Inside Out 2 tidak sekuat pendahulunya, film ini tetap memberikan pengalaman menonton yang menyenangkan. Namun, kita semua tahu bahwa Pixar sebenarnya mampu memberikan sesuatu yang lebih dari ini.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *